Mangsa

Setiap manusia memiliki masa yang menjadi kesan terdalam dalam hidupnya, hal itulah diantaranya menjadikan dirinya serasa hidup dan ada.

Rabu, 16 Maret 2011

POROS JAKARTA PEKING

Bung Karno dan komunis. Ini adalah topik klasik. Terlebih, penggulingan Bung Karno melalui Tap MPR XXX/1967 diartikan sebagai keterlibatan Bung Karno, langsung atau tidak langsung terhadap tragedi G-30-S.  Singkat kata, hingga akhir hayatnya, ada upaya nyata untuk melekatkan stigma komunis kepada Sang Proklamator. Semua upaya tadi, bahkan menabrak logika ketatanegaraan, menafikan fakta-fakta yang ada.
Nah, salah satu hal yang sering dikaitkan sebagai “bukti” Sukarno –setidaknya– pro komunis adalah penciptaan istilah Poros Jakarta – Peking. Tanpa mengkaji latar belakangnya, tanpa menelisik asal-usul, tanpa menganalisa pertimbangan ke depan, spontan saja poros Jakarta – Peking diterjemahkan sebagai upaya menggelindingkan bangsa ini lebih pro terhadap komunis.
Belum lagi pertemuan yang intensif antara Bung Karno dan Perdana Menteri RRC, Chou Enlai. Pertemuan di Beijing (dulu bernama Peking), Jakarta, Bali, di Beograd dan di dalam kesempatan lain di luar negeri, lebih-lebih memperlihatkan betapa “mesra” hubungan Bung Karno dan Chou Enlai. Bahkan ada yang membaca sebagai “hubungan spesial” Indonesia- Cina.
Apa gerangan yang mengakibatkan Bung Karno begitu dekat dengan Presiden Mao Zedong dan/atau PM Chou Enlai? Kedekatan ini khususnya sejak tahun 1960-an. Sebeb, periode sebelum dekat dengan Cina, dunia pun mengetahui kalau Bung Karno dekat dengan Kruschev, atau bisa dibaca sebagai Indonesia dekat dengan Uni Soviet.
Jika kita telisik sejarah, kedekatan Bung Karno dengan Mao maupun Chou tak lain karena “proyek” NEFO (New Emergong Forces). Cina sangat mendukung Indonesia (baca=Bung Karno) memimpin gerakan NEFO. Bahkan waktu itu, Bung Karno sudah merancang konferensi NEFO (CONEFO) di Jakarta. Jika ini terwujud, lebih separuh belahan bumi, akan berhimpun.
Tak bisa dipungkiri, gerakan itu sangat tidak disukai Amerika Serikat (dan sekutunya), bahkan juga tidak disukai oleh Uni Soviet. Amerika dan sekutu kapitalisnya sangat keberatan negara-negara baru ini lepas dari cengkeraman mereka. Sebaliknya, Uni Soviet yang menempatkan diri sebagai pusat komunisme internasional (komintern) sangat tidak senang posisi itu kemudian seperti diambil-alih oleh Cina.
Inilah yang nanti berujung pada konspirasi internasional sehingga meletus G-30-S. Inilah sebuah potret dan tinjauan dari kacamata internasional terhadap upaya pendongkelan Sukarno dan proyek CONEFO-nya.

Rabu, 09 Maret 2011

Calo Haji Masa Kolonial Belanda

Untuk memperoleh uang banyak dan kedudukan yang tinggi, banyak pula caranya. Salah satunya, calo. Dengan modal fasilitas, koneksitas dan profesi-jabatan, calo menyeruak dalam semua lini kehidupan manusia, mulai dari percaloan tingkat tinggi hingga calo tingkat rendahan. Dari calo pajak yang "mengeruk" keuntungan milyaran bagi sang calo, dan kerugian trilyunan bagi masyarakat hingga calo terminal yang beromzet recehan. Ada calo politik tingkat nasional, hingga calo tingkat RT/RW. Calo itu ada dan bekerja dalam durasi 24 jam satu hari. Ibarat "rasa makanan", calo tak mengenal nasionalisme maupun mempertimbangkan wilayah sacred. Di Gedung DPR, Istana, Departemen hingga masjid juga ada calo. Dan mungkin, hingga berakhirnya dunia ini, calo akan terus eksis, berkembang biak dan bermetamorfosis dalam setiap perjalanan waktu. Pemilu, penyusunan anggaran, mudik hingga haji-pun mengenal percaloan. Pelaksanaan haji, yang masuk dalam wilayah "ibadah-sacred", menjadi gula-gulali bagi para calo, karena pelaksanaan haji (mulai dari proses pendaftaran, pemberangkatan hingga pelaksanaan), uang "berputar" dalam omzet yang demikian banyak. Dalam sejarah, sejak zaman kolonial Belanda, pelaksanaan haji, termasuk "ranah" paling menarik bagi para calo, seperti Laporan Laporan Residen Cirebon tanggal 10 Juli 1893 ini.

Laporan yang dikutip Dien Majid, menyebutkan pengalaman buruk Residen Cirebon ketika melaksanakan haji tahun 1893. Saat membeli tiket, Adiningrat - sang Residen, dilayani oleh W.H. Herklots, adik J.G.M. Herklots. Adiningrat musti membayar f.150 plus premi f. 7,50 per kepala; lebih mahal dari tarif pemerintah sebesar f.110. Padahal di reklamenya, Herklots menawarkan harga lebih murah: “Harga menoempang f.95 satoe orang troes sampai di Djeddah dan anak-anak oemoer dibawah 10 taoen baijar separo harga, anak yang menetek tidak baijar.” Sialnya lagi, menjelang tanggal keberangkatan haji, W.H. Herklots kabur duluan dari Cirebon dan dia berangkat ke Jedah menggunakan kapal De Taroba. J.G.M. Herklots dan teman Arabnya, Syekh Abdul Karim, “penunggu Kabah”, juga menipu pihak berwenang Mekah dan memanfaatkan mereka untuk menjaring jamaah haji yang hendak pulang ke Hindia Belanda. Herklots memakai identitas palsu untuk bisa masuk Mekah, yakni Haji Abdul Hamid, pribumi Hindia Belanda beragama Islam. Identitas baru ini perlu karena orang-orang non-Muslim tak diperkenankan masuk Mekah.

Herklots menggunakan identitas palsu ini untuk mengajukan pinjaman pada Syarif Mekah. Syarif Mekah bersedia memberi pinjaman f.150.000 dengan dua catatan. Pertama, di kantor Herklots ditempatkan dua jurutulis Syarif Mekah, yang bertugas mengawasi kegiatan kongsi, terutama jumlah jamaah. Setiap sore mereka mengambil keuntungan sesuai perjanjian yang disepakati. Kedua, di pihak lain, para syeikh kepercayaan Syarif Mekah membantu Herklots mencari jamaah yang telah selesai menunaikan ibadah haji untuk pulang ke tanah air. Dengan kesepakatan ini Herklots mendapat perlindungan. Dan dengan bantuan para syeikh, dia bisa leluasa menjaring para jamaah yang hendak pulang sementara agen-agen haji lain susah-payah mendapatkannya. Di Mekah, para “Haji Jawa”, sebutan untuk jamaah haji Hindia Belanda, dipaksa naik kapal api dari agen Herklots. Supaya tak pindah ke kapal lain, mereka diwajibkan membayar tiket sejak di Mekah.

Jamaah haji yang telah membayar mahal ini dibuat terlantar saat menunggu tanpa kepastian kapan kapal carteran Herklots dari Batavia datang. Mereka menunggu di tenda-tenda di lapangan terbuka tanpa fasilitas memadai. Para jamaah, yang kehabisan duit itu, mengadukan perlakuan buruk Herklot pada konsulat Belanda di Jedah dan bikin konsulat Belanda geram. Mereka memaksa Herklots mengembalikan uang tiket tanpa harus menunggu kapal carteran. Herklots bersedia mengembalikan separo dari harga tiket, 31 ringgit. Selain keluhan keterlambatan dan penelantaran, banyak jamaah haji mengeluhkan fasilitas kapal pengangkut jamaah. Majid menulis, kapal Samoa yang dipakai Herklots tak dirancang sebagai kapal penumpang. Akibatnya, dek atas dan bawah penuh penumpang dengan ventilasi yang buruk. Banyak penumpang jatuh sakit. Majid juga mengutip kesaksian Sin Tang King, gelar raja muda Padang yang berganti nama menjadi Haji Musa, salah seorang penumpang kapal : “Sampai di Djeddah saja liat ada banjak kapal tetapi tiada kapal boleh kami naik di lain kapal hanja misti masok kapal Samoa, dan kapal lain sewanya tjoema 15 ringgit ada djoega jang 10 ringgit djikaloe orang maoe naik di lain kapal oewang jang telah dibajar di Mekkah itoe ilang sadja. Satoe doewa orang jang ada oewang dia tiada perdoeli ilang oewangnja 37 ringgit itoe dia sewa lain kapal, sebab di kapal Samoa tiada bisa tidoer dan tiada boleh sambahjang karena semoewa orang ada 3.300 (sepandjang chabar orang) djadi bersoesoen sadja kami jang tiada oewang boewat sewa lain kapal...”. Kapal Samoa berangkat menuju Batavia pada 7 Agustus 1893 dan transit semalam di Aden. Setelah berlayar dua hari dari Aden, menurut kesaksian Si Tang Kin, tepat hari Selasa sekira pukul 17.00 Samoa dihajar badai dahsyat. Kapten kapal tak memberi tahu akan datangnya badai sehingga pintu terbuka dan orang-orang di kapal riuh, berhimpit-himpitan dengan peti, hingga ada yang kepalanya pecah, putus kakinya, atau terhempas ke laut. Dalam satu malam, seratusan orang tewas. Mereka dibuang begitu saja ke laut tanpa disembahyangkan atau dikafani.

Senin, 07 Maret 2011

BEBERAPA TEORI MOTIVASI


Pada umumnya para ahli teori perilaku beropini bahwa dalam setiap perilakunya manusia mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Keberadaan tujuan tersebut, menjadi tumpuan sinergi dengan para ahli teori motivasi yang berusaha berfikir dan mencari cara agar manusia dapat didorong berkontribusi memenuhi kebutuhan dan keinginan organisasi. Tenaga kerja penting dimotivasi untuk mencapai tujuan organisasi. Tanpa motivasi mereka bekerja dalam keadaan sakit hati yang menjurus pada ketiadaan kontribusi bahkan terbuka peluang kontribusi yang merugikan. Teori hierarkhi kebutuhan Maslow menyiratkan manusia bekerja dimotivasi oleh kebutuhan yang sesuai dengan waktu, keadaan serta pengalamannya. Tenaga kerja termotivasi oleh kebutuhan yang belum terpenuhi dimana tingkat kebutuhan yang lebih tinggi muncul setelah tingkatan sebelumnya. Masing-masing tingkatan kebutuhan tersebut, tidak lain : kebutuhan fisiologis, rasa aman, sosial, penghargaan, perwujudan diri. Dari fisiologis bergerak ke tingkat kebutuhan tertinggi, yaitu, perwujudan diri secara bertahap. Terlepas menerima atau tidak kebutuhan berhierarkhi, mengetahui jenis-jenisnya adalah memberikan kontribusi silang saling memenuhi. Seperti seseorang berusaha keras mencari pekerjaan yang tidak lain mengimplementasikan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan fisiologis. Lantas bagaimana dengan fakta bayi yang baru dilahirkan adalah bukan langsung makan tetapi dia menangis yang tidak lain kebutuhan sosial. Juga masih tentang bayi, beberapa penelitian membuktikan bayi menangis jika ingin disusui oleh ibunya. Yang paling tidak lucu tampak kejadian banyak perusahaan merekrut tenaga penjualan langsung dengan syarat memiliki kendaraan beroda empat (Mobil). Secara umum diketahui Frederick Herbertg berteori dua situasi yang mempengaruhi tenaga kerja saat bekerja. Situasi pertama,yaitu, pemuasan yang berarti sumber kepuasan kerja seperti:prestasi, pengukuhan hasil kerja, daya tarik pekerjaan, dan tanggung jawab serta kemajuan. Situasi kedua tidak lain ketidak puasan yang bersumber dari: kebijakan, supervisi, uang, status, rasa aman, hubungan antar manusia, dan kondisi kerja. Dalam hal ini, jika situasi pertama tidak ada tidak menimbulkan ketidak puasan berlebihan. Karena ketidakpuasan muncul dari tidak memperhatikan situasi kedua. Perhatian terhadap indikator situasi pertama menjadi motivasi tenaga kerja dalam bekerja. Tampak berbasis teori ini jika ingin tenaga kerja termotivasi maka mesti memberikan situasi pertama. Kemudian Mc Gregor terkenal dengan teori X dan teori Y. Teori X memberikan petuah manajer harus memberikan pengawasan yang ketat, tugas-tugas yang jelas, dan menetapkan imbalan atau hukuman. Hal tersebut, karena manusia lebih suka diawasi daripada bebas, segan bertanggung jawab, malas dan ingin aman saja, motivasi utamanya memperoleh uang dan takut sanksi. Sebaliknya teori Y mengarahkan manajer mesti terbuka dan mendorong inisiatif kompetensi tenaga kerja. Teori Y berasumsi manusia suka kerja, sebab bekerja tidak lain aktifitas alami. Pengawasan sendiri bersifat esensial. Dengan demikian, teori X kurang baik dan teori Y adalah baik. Tidak ..tidak demikian melainkan secara bijak teori X dan Y digunakan sesuai keadaan. Terkadang mesti egois, dan terkadang juga demokratis. Intensitas motif seseorang melakukan sesuatu adalah fungsi nilai setiap hasil yang mungkin dicapai dengan persepsi kegunaannya. Motivasi sama dengan hasil dikali nilai terus hasil perhitungannya dikalikan kembali dengan ekspektasi. Akan tetapi hal tersebut, bersyarat manusia meletakkan nilai kepada sesuatu yang diharapkannya dan mempertimbangkan keyakinan memberi sumbangan terhadap tujuan. Lantas kemampuan bekerja dan persepsi yang akurat tentang peranannya dalam organisasi diperlukan. Demikian itu, merupakan teori motivasi harapan dimana Vroom ialah orang yang menelurkannya. Sedangkan Porter dan Lawler memberikan peringatan persepsi usahayang dilatarbelakangi kemampuan dan peranan kerjanya menghasilkan cara kerja yang efektif untuk mencapai prestasi baik inisiatif sendiri maupun bukan inisiatif sendiri sehingga memperoleh imbalan yang layak dan kepuasan. Teori motivasi prestasi menegaskan manusia bekerja didorong oleh kebutuhan prestasi, afiliasi, dan kekuasaan. Kebutuhan prestasi tercermin dari keinginan seseorang mengambil tugas secara konsisten bertanggung jawab dimana untuk mencapai tujuannya ia berani mengahdapi risiko serta memperhatikan feedback. Kebutuhan afiliasi ditunjukan oleh keinginan bersahabat, memperhatikan aspek antar pribadi, bekerja sama, empati, dan efektif dalam bekerja. Sedangkan kebutuhan kekuasaan tampak pada seseorang yang mau untuk berpengaruh terhadap orang lain, cepat tanggap terhadap masalah, aktif menjalankan kebijakan organisasi, senang membantu orang ldengan mengesankan dan selalu menjaga prestasi, reputasi serta posisinya. Sekarang kita coba integrasikan teori-teori yang telah dikemukakan dengan basis pendekatan integratif. Kombinasi dari dua arah gejala harapan dan kebutuhan sebagai usaha memotivasi. Berbasis pendekatan demikian, maka kita kenal tiga hal tentang motivasi kerja. Pertama, kebutuhan individu yang terpenting adalah pencapaian, kekuasaan, afiliasi, perhitungan, ketergantungan, perluasan. Kedua, motivasi kerja berkembang pada kekuatan yang diubah dalam pola kebutuhan dan kepercayaan untuk bekerja dalam organisasi. Ketiga, hasil akhir psikologis orang bekerja tidak lain kepuasan yang diperoleh dari kerja dan peranannya. Pendek kata memotivasi dilakukan dengan cara memenuhi kebutuhan dan kepuasan tenaga kerja dimana organisasi dapat menetukan sendiri pola kebutuhan dan kepuasannya tanpa mengabaikan tenaga kerja.

Berakhirnya Kisah

Hidup adalah untuk menjalani juga untuk menceritakan. manusia akan hidup dan akan menjalani apa yang seharusnya dijalani, untuk itulah manusia harus berpikir dan memiliki kemampuan untuk berpikir dan memiliki kemampuan untuk menceritaka  apa yang telah terjadi yang berpengaruh terhadap kemampuan berpikirnya.